Peran Gizi dalam Pencegahan Rabies: Perspektif Hari Rabies
![](https://statik.unesa.ac.id/profileunesa_konten_statik/uploads/gizi/thumbnail/c65d1d84-a36a-4859-96db-d835f3f87b26.png)
Rabies adalah penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia) yang mematikan dan disebabkan oleh virus dari genus Lyssavirus. Rabies merupakan ancaman kesehatan global yang serius dengan ribuan kematian setiap tahun, terutama di Asia dan Afrika, di mana akses terhadap vaksinasi dan edukasi mengenai rabies masih terbatas. Sekitar 59.000 orang meninggal akibat rabies setiap tahun, sebagian besar karena kurangnya pengetahuan mengenai pencegahan dan terbatasnya akses terhadap vaksin pasca-paparan. Untuk itu, Hari Rabies Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 28 September untuk meningkatkan kesadaran tentang ancaman rabies dan pentingnya pencegahan, vaksinasi, dan edukasi secara global.
Rabies dapat menyerang sistem saraf pusat pada hewan dan manusia. Pada hewan, terutama mamalia seperti anjing, kucing, dan kelelawar, gejala awal biasanya meliputi perubahan perilaku seperti kegelisahan atau agresivitas yang meningkat. Hewan yang biasanya jinak dapat menjadi lebih agresif atau sebaliknya, hewan yang biasanya agresif bisa menjadi lebih jinak. Gejala fisik lain mencakup kesulitan menelan, produksi air liur berlebihan (hipersalivasi), dan kehilangan kontrol otot, sering kali berakhir dengan kelumpuhan, hewan bisa mengalami kejang dan akhirnya meninggal.
Pada manusia, gejala rabies muncul setelah masa inkubasi yang bervariasi antara 1 hingga 3 bulan, tergantung pada lokasi gigitan. Gejala awal menyerupai flu dengan demam, sakit kepala, dan kelemahan umum. Rasa gatal atau kesemutan di sekitar tempat gigitan sering muncul. Ketika virus mencapai otak, gejala neurologis mulai muncul, seperti kecemasan, kebingungan, dan perilaku agresif. Pasien juga mengalami kesulitan menelan, hipersensitivitas terhadap cahaya dan suara, hingga kejang, halusinasi, dan kelumpuhan. Jika tidak diobati sebelum gejala neurologis muncul, rabies hampir selalu berakibat fatal.
Organisasi kesehatan dunia, seperti WHO (World Health Organization), OIE (World Organisation for Animal Health), dan GARC (Global Alliance for Rabies Control), bekerja sama dengan pemerintah lokal dan masyarakat untuk meluncurkan kampanye edukasi yang menekankan pentingnya vaksinasi baik pada hewan maupun manusia. Vaksinasi massal pada hewan, terutama anjing sebagai vektor utama, menjadi kunci dalam upaya global mengakhiri rabies pada tahun 2030. Selain pencegahan dan vaksinasi, gizi yang baik memiliki peran penting dalam konteks rabies, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Vaksin rabies adalah langkah utama dalam mencegah infeksi rabies setelah gigitan hewan yang terinfeksi. Namun, penelitian menunjukkan bahwa status gizi individu memengaruhi efektivitas vaksinasi. Orang dengan status gizi buruk, terutama yang mengalami kekurangan vitamin dan mineral esensial, mungkin memiliki respons imun yang lebih lemah terhadap vaksin. Beberapa nutrisi yang sangat penting untuk kesehatan sistem kekebalan antara lain, vitamin A dan vitamin D yang berperan dalam memodulasi respons imun dan membantu tubuh menghasilkan antibodi. Selain itu, zat besi dan seng penting untuk mendukung fungsi sel darah putih dan mekanisme pertahanan tubuh melawan infeksi. Penelitian dari Hemachudha et al. (2002) menyoroti pentingnya status imun dalam pencegahan rabies.
Sumber : independent.co.uk
Setelah seseorang digigit oleh hewan yang dicurigai terinfeksi rabies, mereka harus menerima perawatan luka dan vaksinasi pasca-paparan. Proses penyembuhan dari luka gigitan juga bergantung pada status gizi individu. Asupan protein yang cukup, vitamin C, dan mineral seperti seng sangat penting dalam mempercepat penyembuhan jaringan dan regenerasi sel yang rusak akibat gigitan hewan. Beberapa studi menunjukkan bahwa orang yang memiliki defisiensi mikronutrien dapat mengalami proses penyembuhan luka yang lebih lambat, serta risiko infeksi sekunder yang lebih tinggi di lokasi gigitan.
Sebagai penyakit zoonosis, rabies juga berkaitan dengan keamanan pangan. Meskipun jarang terjadi, ada laporan penularan rabies melalui konsumsi daging dari hewan yang terinfeksi. Oleh karena itu, keamanan pangan menjadi penting, terutama di daerah di mana rabies endemik. Peternakan yang baik dan pengawasan terhadap kesehatan hewan ternak penting untuk memastikan bahwa produk makanan yang berasal dari hewan tersebut aman dikonsumsi dan mengurangi risiko penularan.
Pendidikan tentang pentingnya nutrisi harus menjadi bagian integral dari edukasi Hari Rabies Sedunia sebagai upaya pencegahan rabies. Edukasi ini tidak hanya fokus pada vaksinasi, tetapi juga pada pentingnya pemberian makanan yang baik untuk hewan peliharaan dan peran gizi yang memadai bagi manusia. Hari Rabies Sedunia merupakan waktu penting untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya rabies dan mendorong pencegahan serta eliminasi penyakit ini. Gizi yang baik memperkuat sistem kekebalan manusia, mendukung penyembuhan luka, dan mencegah penyebaran rabies. Dengan memastikan akses nutrisi yang memadai bagi manusia dan hewan, risiko rabies dapat diminimalkan, dan eliminasi rabies global dapat dicapai.
DAFTAR PUSTAKA
Bharti, O. K., et al. (2017). “Integrated Bite Case Management: A practical approach to optimize post-exposure rabies prophylaxis in India”. Journal of Global Health, 7(2), 020404. https://doi.org/10.7189/jogh.07.020404
Dewi, N. M., & Purwanti, I. (2019). “Peran Status Gizi dalam Meningkatkan Respons Imun terhadap Vaksinasi Rabies pada Populasi Rentan”. Jurnal Gizi dan Pangan, 14(3), 115-122.
Fooks, A. R., et al. (2017). “Rabies Control and The Elimination of Dog-Mediated Human Rabies”. The Lancet Infectious Diseases, 17(6), 543-544.
Ginting, C. A. P., & Dharmawan, N. S. (2021). “Epidemiologi Kasus Rabies dan Upaya Pencegahan di Indonesia: Sebuah Tinjauan Literatur”. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 17(2), 103-114.
Hemachudha, T., Laothamatas, J., & Rupprecht, C. E. (2002). “Human Rabies: a Disease of Complex Neuropathogenetic Mechanisms and Diagnostic Challenges”. The Lancet Neurology, 1(2), 101-109. https://doi.org/10.1016/S1474-4422(02)00041-8
Smith, J. S. (2008). “Rabies in The 21st Century”. PLoS Neglected Tropical Diseases, 2(1), e206. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0000206
Susanti, R., & Mardiana, S. (2020). “Efektivitas Vaksinasi Rabies pada Populasi Anjing di Daerah Endemik Rabies, Sulawesi Utara”. Jurnal Ilmu Veteriner, 19(2), 89-97.
Sutarman, T., & Rina, D. (2020). “Pentingnya Pemberian Makan yang Baik pada Anjing sebagai Bagian dari Pencegahan Rabies di Bali”. Jurnal Kesehatan Hewan, 8(1), 65-75.
Taylor, L. H., & Hampson, K. (2016). “The Burden of Rabies in Africa and Asia: a Systematic Review”. PLoS Neglected Tropical Diseases, 10(10), e0004923. https://doi.org/10.1371/journal.pntd.0004923
Wijaya, H. A., & Putri, L. (2018). “Hubungan antara Pengetahuan tentang Rabies dengan Kesehatan Hewan Peliharaan pada Masyarakat Nusa Tenggara Timur”. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 12(4), 203-211.
World Health Organization (WHO). (2024). “Rabies”. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/rabies